KEADILAN DAN PERBUATAN ALLAH SWT

0 comments


KEADILAN DAN PERBUATAN ALLAH SWT

A.    KEADILAN ALLAH SWT
Kata keadilan dan maksudnya sudah tidak asing lagi bagi setiap manusia. Ia merupakan sesuatu yang sangat diharapkan dan didambakan oleh orang-orang yang merasakan kehidupan sosial sudah tidak wajar lagi. Berbicara tentang keadilan tidak mengenal batas, ruang dan waktu. Dimana saja komunitas manusia berada, maka kata keadilan akan muncul bersamaan dengannya. Apa sebenarnya keadilan itu? Bagaimana Islam memandang keadilan? dan apa yang telah Islam upayakan dalam menegakkan keadilan.

Memang kata keadilan mempunyai makna yang luas dan banyak tergantung terminologi yang kita pakai untuk memaknainya. Dalam salah satu terminologi, keadilan bermakna meletakkan sesuatu pada tempatnya, dalam terminologi yang lain keadilan diartikan memberikan hak kepada pemiliknya, dan juga berarti sebuah bawaan dalam diri seseorang untuk senantiasa menjaga konsekuensi-konsekuensi taqwa dan lain sebagainya. Dalam hal ini kami akan membahas  keadilan yang berkaitan dengan sifat Allah (Keadilan Ilahi) dan implikasinya dalam kehidupan umat manusia.
1.      Keadilan adalah sifat Allah SWT
Kaum muslimin bersepakat bahwa Allah adalah Zat Yang Mahaadil dan Mahabijaksana. Karena Quran dalam beberapa ayatnya mengata-kan tentang hal itu dan menafikan sifat zhalim dari Allah. Meski mereka bersepakat tentang masalah ini, namun pada kajian teologi Islam terdahulu sempat terjadi perdebatan yang sangat seru antara golongan yang mengatakan dirinya sebagai "Adliyyah" dan golongan yang disebut dengan "Non Adliyyah".
Perbedaan tersebut muncul karena perbedaan frame untuk melihat apa atau siapa yang menentukan baik dan buruknya perbuatan dasar manusia. Sehubungan dengan keadilan, golongan pertama berpendapat bahwa Allah tidak berbuat sesuatu kecuali dengan adil dan bijak, sementara yang kedua mengatakan bahwa segala perbuatan Allah pasti berdasarkan keadilan. Sekilas dua pernyataan tadi sama, tetapi sebenarnya berbeda. Dan perbedaan itu terletak pada yang telah disebutkan  tadi. Dalam pandangan Imamiyyah-Ahlil Bait, masalah keadilan menduduki posisi yang amat sangat penting sekali dan mereka menjadikannya sebagai dasar agama setelah "Tauhid". Perlu diinformasikan bahwa dalam kajian awal tentang ilmu akidah Imamiyyah diterangkan lima dasar agama (Ushuluddin al khamsah): Tauhid, Keadilan, Kenabian, Kepemimpinan, dan Ma’ad. Menurut mereka, sifat adil dijadikan sebagai salah satu dari dasar-dasar agama sementara sifat-sifat lainnya tidak, karena beberapa alasan berikut ini;
Diantara sifat-sifat dan asma Allah, keadilan mempunyai keistimewaan tersendiri karena menurut Syaikh Makarim Syirazi, beberapa sifat-sifat Allah kembali kepada sifat adil seperti sifat kasih sayang, pemberi rezeki, bijaksana dan lainnya. 
Oleh karena cabang-cabang agama merupakan pancaran dari dasar-dasar agama dan syariat diturunkan sebagai upaya Tuhan untuk  menegakkan keadilan di tengah masyarakat umat manusia. maka sifat adil Allah menjadi lebih menonjol dibandingkan sifat-sifat lainnya.
Menjadikan sifat adil sebagai salah satu dasar dari agama memberikanindikasi secara eksplisit bahwa keadilan harus ditegakkan dan itu termasuk dari anjuran hadits Qudsi, "Berakhlaklah dengan akhlak Allah".
Lebih jelasnya keadilan merupakan poros dari seluruh ajaran agama, dan juga sebagai penyebab diutusnya para Nabi, diturunkannya kitab-kitab dan dibangkitkannya manusia di alam mahsyar dan alam akhirat, atau dengan kata lain, elemen-elemen agama seperti syariat, kenabian, kepemimpinan dan kebangkitan hari akhirat merupakan konsekuensi logis dari keadilan Ilahi. Karena jika Allah tidak mengutus para Nabi dan tidak menurunkan kitab, maka tujuan dari penciptaan manusia (yaitu kesempurnaan manusia dengan kembali kepada-Nya) tidak akan tercapai, atau paling tidak, sangat sulit, sehingga dengan sendirinya, penciptaan manusia dan alam sekitarnya akan menjadi sia-sia. Demikian pula jika tidak ada hari pembalasan, maka Allah sangatlah tidak adil karena karena Ia membiarkan orang-orang yang berbuat kejahatan dan penindasan tanpa balasan dan membiarkan orang-orang yang tertindas tidak mendapat menyaksikan balasan atas-orang-orang yang pernah menindas mereka. Nah untuk itu semua, Allah Yang Mahaadil mengutus para Nabi, menurunkan kitab dan membangkitkan manusia di alam akhirat.
Keadilan Ilahi tidak hanya berkaitan dengan moral dan peraturan sosial-kemanusiaan  saja, tetapi keadilan Ilahi berlaku juga dalam menciptakan alam raya lahiriah ini. Nabi Muhammad saaw. bersabda, "Dengan keadilan langit dan bumi ditegakkan". Artinya tanpa keadilan, ekosistem alam semesta ini tidak akan tegak atau malah alam ini tidak akan ada sama sekali. Jadi alam raya ini ada karena keadilan, dan sistem yang berlaku di dalamnya juga dengan adil.
Oleh karena itu, sifat adil menjadi sifat yang paling nyata dan paling berperan dalam perbuatan-perbuatan Allah, baik yang berkaitan dengan karya alami yang lahiriah atau filosofi penciptaan.

2.      Konsep keadilan Allah dilihat dari Antonimnya
Para Ulama menyebutkan anonim dari keadilan yaitu kezhaliman. Kata kezhaliman mempunyai arti yang banyak sebanyak arti kata keadilan itu sendiri. Allah SWT sebagai Zat Yang Mahaadil sangat jauh dari sifat zhalim (lihat surat Yunus: 144, Al Nisa: 40, Al Anbiya: 47 dan Qaf: 29). Jadi dua kata ini tidak mungkin kumpul dalam diri satu zat. Ketika Allah disifati adil berarti Dia tidak zhalim. Yang menarik, para ulama ketika hendak membuktikan keadilan Allah biasanya mereka terlebih dahulu menafikan dari-Nya faktor-faktor perbuatan zhalim. Diantara faktor-faktor tersebut adalah:

a)      Kebodohan
Terkadang seseorang berbuat kezhaliman atau kesalahan karena dia tidak mengetahui bahwa yang dia lakukan itu adalah salah atau zhalim. Oleh karena Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu, maka tidak mungkin Dia tidak mengetahui perbuatan yang zhalim dan salah itu.
b)      Kebutuhan
Faktor lain seseorang berbuat kezhaliman atau kesalahan adalah dia membutuhkan sesuatu yang tidak dia miliki, lalu dia mencoba mengambilnya secara zhalim. Allah Mahakaya sehingga Dia tidak membutuhkan kepada selain diri-Nya sendiri.
c)      Kelemahan
Seseorang karena tidak berdaya untuk menghindari kezhaliman atau kesalahan, maka dia terpaksa melakukannya. Allah Zat Yang Mahakuasa untuk berbuat sesuatu sehingga tidak ada sesuatupun yang memaksa-Nya.
d)     Main-main
Seringkali seseorang berbuat kezhaliman atau kesalahan hanya karena main-main atau iseng. Allah jauh dari mempunyai motivasi seperti itu, karena motivasi ini timbul dari seseorang yang tidak mempunyai tujuan dalam perbuatannya.
Tentu empat faktor tadi tidak ada pada Zat Allah, maka Dia tidak akan pernah berbuat kezhaliman atau dengan kata lain, Dia selalu berbuat sesuatu dengan adil. Atas dasar asumsi ini, maka segala fenomena alam eksternal seperti gempa bumi, gunung berapi dan lainnya ataupun internal seperti cacat fisik, kelaparan dan lainnya bukanlah fenomena-fenomena yang dikecualikan dari keadilan Ilahi. Secara umum dan global fenomena-fenomena itu mengandung sebuah nilai sains-filosofis yang sebagian darinya telah terungkap. Allah berfirman: "Yang telah baik menciptakan segala sesuatu" (Qs. Sajdah: 7). Karena tidak ada alasan dan faktor bagi Allah untuk melakukan kesalahan dan kezhaliman, seperti tersebut tadi. Jadi jika ada fenomena khususnya yang internal bukanlah kesalahan atau kezhaliman dari Allah, tapi itu merupakan kesalahan manusia kalau tidak, ia mengandung sebuah kemashlahatan.

B.     PERBUATAN ALLAH SWT
Dalam hal ini kami mengimplementasikan bahwa perbuatan Allah SWT itu diwujudkan melalui sunatullah. Segala perbuatan Allah di seluruh alam semesta ini (secara lahiriah dan batiniah), justru terwujud melalui sunatullah (Sunnah Allah). Walaupun perwujudan atau pelaksanaan sunatullah memang dilakukan bukan langsung  oleh Allah sendiri. Namun terutama dilakukan oleh tak-terhitung jumlah para malaikat-Nya di seluruh alam semesta, dengan segala macam tugasnya masing-masing, dalam mengatur segala urusan-Nya. Berikut ini merupakan penjelasan sunatullah sebagai bentuk perwujudan dari segala kehendak, tindakan atau perbuatan-Nya di seluruh alam semesta ini, secara garis besar yaitu :
  1. Sunatullah, bagian terpenting dari ilmu-pengetahuan-Nya.
Ilmu-pengetahuan-Nya adalah segala sesuatu hal yang bersifat 'mutlak' (pasti terjadi / berlaku) dan 'ekal (pasti konsisten / tidak berubah-ubah), baik saat sebelum diciptakan-Nya alam semesta ini, saat masih tegak-kokohnya alam semesta ini, maupun saat setelah berakhirnya alam semesta ini (akhir jaman).
Segala ilmu-pengetahuan-Nya di alam semesta ini  juga biasa disebut segala kebenaran-Nya; tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya; ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis; Al-Qur'an dan kitab-Nya yang berbentuk gaib, yang tercatat pada kitab mulia (Lauh Mahfuzh) di sisi 'Arsy-Nya; wajah-Nya; firman, kalam, kalimat atau wahyu-Nya yang sebenarnya; dsb.
Semua sebutan ini hanya berbeda fokus dan pemakaiannya saja, namun merujuk kepada hal yang sama, berupa segala sesuatu hal yang bersifat mutlak dan kekal, pada segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadian (lahiriah dan batiniah) di alam semesta ini.
Sunatullah adalah bagian yang bersifat dinamis dari ilmu-pengetahuan-Nya di alam semesta ini. Karena sunatullah memang hanya semata terkait dengan segala proses penciptaan dan segala proses kejadian lainnya (segala proses dinamis). Sunatullah itu sendiri tidak berubah-ubah, namun masukan dan keluaran prosesnya yang bisa selalu berubah-ubah secara dinamis (segala keadaan lahiriah dan batiniah tiap saatnya), dan tentunya sunatullah juga berjalan atau berlaku tiap saatnya.
Sunatullah berupa tak-terhitung jumlah aturan atau rumus proses kejadian (lahiriah dan batiniah), yang bersifat mutlak dan kekal, yang tiap saatnya pasti selalu mengatur segala zat ciptaan-Nya di alam semesta ini. Sebagian dari ilmu-pengetahuan-Nya lainnya (umumnya bersifat statis), seperti:
Segala sifat pembeda-esensi-statis pada segala zat ciptaan-Nya (ciri khas statisnya masing-masing);
·         Segala keadaan lahiriah dan batiniah tiap saatnya pada segala zat ciptaan-Nya (qadla-Nya bagi masing-masingnya tiap saatnya);
·         Segala bentuk pengajaran dan tuntunan-Nya, secara lahiriah dan batiniah (sebagian terbesarnya justru telah terkandung'pula dalam sunatullah);
·         Hakekat dan tujuan utama penciptaan alam semesta dan segala isinya ini (segala jenis zat ciptaan-Nya), termasuk tujuan kehidupan umat manusia;
·         Segala sesuatu hal pada saat sebelum terciptanya alam semesta ini, dan pada saat setelah berakhirnya alam semesta ini (akhir jaman);
·         Dan segala bentuk ketetapan dan kebenaran-Nya lainnya.
Khusus tentang ilmu-pengetahuan-Nya, yang berupa segala keadaan lahiriah dan batiniah tiap saatnya, pada segala zat ciptaan-Nya di atas (qadla-Nya bagi masing-masingnya tiap saatnya), justru hanya semata bersifat 'mutlak' (pasti terjadi / berlaku) dan 'kekal' (pasti konsisten / tidak berubah-ubah), segera sesaat setelah berlakunya sunatullah tiap saatnya, atas tiap zatnya. Serta kekekalan inipun justru bukan berupa kekekalan keadaannya sendiri, namun berupa kekekalan 'catatan' atas tiap kejadian perubahan keadaannya (Lauh Mahfuzh).
Pemahaman atas sunatullah justru amat penting untuk dimiliki oleh umat Islam, selain karena bagian dari ilmu-pengetahuan-Nya, juga karena sunatullah sebutan lain bagi segala kehendak, tindakan atau perbuatan-Nya di alam semesta ini.
Dengan memahami sunatullah, umat tentunya juga relatif bisa memahami ajaran-ajaran agama-Nya, secara utuh dan mendalam. Sedangkan agama-Nya itu sendiri memang bentuk kehendak atau keredhaan-Nya bagi seluruh umat manusia.
Bahkan pemahaman atas sunatullah relatif paling dikuasai oleh para nabi-Nya, dibanding seluruh umat manusia lainnya di tiap jamannya, terutama karena mereka memang relatif amat sering mengamati dan mempelajari "tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya" di alam semesta ini (lahiriah dan batiniah).
Dengan sifat dinamisnya, tentunya sunatullah adalah bagian yang paling penting dari ilmu-pengetahuan-Nya. Sedangkan ilmu-pengetahuan-Nya yang bersifat statis di alam semesta ini, justru relatif mudah bisa diungkap oleh umat manusia, misalnya sifat-sifat pada: zat ruh, beserta elemen-elemennya (akal, nafsu, hati, hati-nurani, catatan amal, dsb); berbagai jenis Atom-materi; berbagai jenis energi; berbagai jenis benda langit; dsb. Sedangkan diketahui dalam "Urutan penciptaan alam semesta", bahwa 'Ruh', 'Materi terkecil' dan 'Energi', adalah elemen-elemen yang paling dasar, bagi penciptaan alam semesta dan segala isinya ini.
  1. Ilmu-pengetahuan manusia, wujud sunatullah.
Segala bentuk ilmu-pengetahuan (beserta segala teori dan rumus di dalamnya), yang dikenal dan dicapai oleh manusia, secara "amat obyektif" (sesuai dengan fakta-kenyataan-kebenaran secara apa adanya, tanpa ditambah dan dikurangi), pada dasarnya hanya semata hasil dari pengungkapan, atas sebagian amat sangat sedikit dari ilmu-pengetahuan-Nya (terutama sunatullah).
Bahkan nantinya, segala bentuk ilmu-pengetahuan yang belum dikenal, juga hanya hasil dari usaha mengungkap atau memformulasikan sunatullah, yang justru telah ditentukan atau ditetapkan-Nya, sebelum awal penciptaan alam semesta ini.
Dan segala bentuk ilmu-pengetahuan lainnya pada manusia, yang bukan hasil dari usaha mengungkap atau memformulasikan sunatullah, secara "amat obyektif", tentunya bukan bentuk ilmu-pengetahuan yang 'benar'.
Ke-Maha Tinggi-an ilmu-pengetahuan-Nya terutama yang berupa sunatullah (lahiriah dan batiniah), mustahil bisa tercapai seluruhnya oleh umat manusia, atau tidak akan pernah terungkap tuntas sampai akhir jaman. Sehingga usaha dan penyempurnaan pemahaman atas sunatullah ataupun ilmu-pengetahuan-Nya, mestinya terus menerus selalu dilakukan, dari umat ke umat, dari jaman ke jaman.
Ilmu-pengetahuan Allah, Yang Maha Mengetahui bersifat 'mutlak' (pasti benar) dan 'kekal' (selalu benar). Sedangkan segala bentuk ilmu-pengetahuan manusia (bahkan termasuk para nabi-Nya), pasti bersifat 'relatif' (tidak mutlak benar), 'fana' (hanya benar dalam keadaan tertentu) dan 'terbatas' (tidak mengetahui segala sesuatu hal). Karena tiap manusia memang pasti memiliki segala kekurangan dan keterbatasan.
Namun tiap manusia justru bisa berusaha semaksimal mungkin, agar tiap bentuk ilmu-pengetahuannya bisa makin 'sesuai' atau 'mendekati' ilmu-pengetahuan Allah di alam semesta ini, dengan menggunakan akalnya secara relatif makin cermat, obyektif dan mendalam.
Usaha seperti ini justru juga telah dilakukan oleh para nabi-Nya. Sehingga seluruh pengetahuan mereka tentang pengetahuan atau kebenaran-Nya, terutama yang paling penting, mendasar dan hakiki bagi kehidupan umat manusia (hal-hal gaib dan batiniah), memang telah bisa tersusun relatif sempurna (relatif amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan secara keseluruhannya). Hal ini yang justru telah mengakibatkan tiap pengetahuan mereka, bisa disebut 'wahyu-Nya'. Baca pula artikel/posting "Cara proses diturunkan-Nya wahyu".
Segala bentuk ilmu-pengetahuan manusia mestinya bisa dipilih terlebih dahulu, secara amat hati-hati, cermat dan selektif, sebelum dipakai atau diyakini, karena relatif bisa mudah menyesatkan, terutama pada agama, ajaran dan paham yang bersifat 'musyrik' dan 'materialistik', yang memang pasti tidak sesuai dengan kebenaran-Nya (mustahil berasal dari Allah dan tidak bersifat mendasar / hakiki).
Seperti misalnya pada teori-paham: teori evolusi Darwin; teori filsafat dan psikologi (Sigmund Freud, Karl Marx, dsb); paham materialisme, kapitalisme dan sosialisme, berikut segala teori kemasyarakatan dan ekonominya; paham feminisme barat; teori demokrasi dan HAM; ajaran agama-agama musyrik; dsb.
  1. Allah berbuat di alam semesta, melalui sunatullah.
Secara garis besarnya, hal-hal gaib bisa dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu: "gaib zat" dan "gaib perbuatan". "Gaib zat" ini meliputi: Zat Allah (ruh Pencipta) dan zat-zat makhluk-Nya (ruh-ruh makhluk ciptaan-Nya). Sedangkan hal-hal gaib yang di luar "gaib zat" ini, tentunya seluruhnya berupa "gaib perbuatan". Jika "gaib zat" menyangkut 'esensi' dari zat-zat gaib, maka "gaib perbuatan" menyangkut 'perbuatan' dari zat-zat gaib.
Umat manusia mustahil bisa menjelaskan hakekat dari zat-zat gaib ("gaib zat"), karena mustahil mampu dijangkau dengan alat-alat indera ataupun akal-pikirannya. Bahkan salah-satu dari sifat Allah, adalah 'Maha Gaib', yang justru sama sekali tidak dimiliki oleh segala makhluk-Nya.
Dalam "interaksi secara terang-terangan" misalnya, manusia bahkan masih bisa mengetahui "wujud asli" dari para makhluk gaib (mengetahui 'sebagian' dari sifat zat ruhnya, seperti: usia, jenis kelamin dan bangsanya). Walaupun interaksi seperti ini hanya terjadi dalam keadaan tertentu, dan hanya pernah dialami oleh amat terbatas jumlah manusia (termasuk sebagian dari para nabi-Nya).
Di lain pihaknya, manusia mustahil berinteraksi langsung dengan Zat Allah, karena pasti terhalang oleh segala 'tabir', atau pasti hanya melalui perantaraan wahyu dan para utusan-Nya (pada QS.42:51). Maka hampir tidak ada yang bisa diketahui oleh manusia, tentang 'esensi' dari Zat Allah, kecuali: Ada (wujud), Maha Esa, Maha Gaib (Maha Tersembunyi), Maha Kekal, Maha Awal, Maha Akhir dan Maha Hidup. Bahkan sifat-sifat-Nya inipun 'tidak terkait langsung' dengan 'esensi' dari Zat Allah, namun hanya berupa gambaran-fenomena umum 'di sekitar' Zat Allah.
Namun keberadaan zat-zat gaib itu justru bisa dirasakan, diketahui atau dipahami, dari segala perbuatannya yang ada di alam semesta ini, karena alam semesta ini memang diciptakan-Nya, agar tiap makhluk-Nya bisa mengenal Allah, Tuhan Yang telah menciptakannya dan alam semesta ini, beserta segala kekuasaan, kemuliaan dan kesempurnaan-Nya. Juga sekaligus tentunya agar bisa menyembah dan mengabdi kepada-Nya. Sehingga Allah, terutama melalui para malaikat-Nya, memang melakukan segala sesuatu perbuatan, agar tiap manusia bisa mengenal Allah. Segala perbuatan dari zat-zat gaib itu, yang disebut "gaib perbuatan" di atas.
Sederhananya dalam hal "gaib perbuatan" itu, relatif hanya masalah kemampuan dan waktu tiap manusia untuk bisa memahaminya, karena segala perbuatan-Nya di alam semesta ini (melalui segala perbuatan dari para malaikat-Nya, secara lahiriah dan batiniah), justru bersifat 'mutlak' (pasti terjadi / berlaku) dan 'kekal' (pasti konsisten / tidak berubah-ubah). Maka "gaib perbuatan" itupun pasti mengikuti logika-nalar, aturan atau rumus proses, yang 'pasti' dan 'jelas', walaupun memang juga bersifat amat sangat halus, tidak kentara atau gaib (tersembunyi). Dan segala perbuatan-Nya ini yang juga biasa disebut 'sunatullah' (Sunnah Allah / aturan-Nya).
Baca pula poin u di bawah (pelaksanaan sunatullah dikawal oleh para malaikat).
Di samping karena bersifat gaib di atas, persoalan amat pentingnya juga ada pada sunatullah, yang 'tak-terhitung' jumlah aturan atau rumus prosesnya, yang tidak akan pernah bisa dikuasai semuanya oleh manusia (relatif hanya bisa sebagian amat sangat sedikit saja). Sehingga hal-hal yang terjadi di alam semesta ini, 'seolah-olah' tampak amat sulit bisa dipahami, tidak teratur, tidak pasti dan tidak jelas.
Hal-hal yang mustahil bisa dijelaskan atau dinalar, adalah hakekat dari Zat Allah dan sebagian hakekat dari zat ruh-ruh makhluk-Nya. Juga "gaib zat" ini memang relatif tidak perlu dan tidak ada manfaatnya untuk dinalar. Bahkan tidak ada satupun ayat kitab suci Al-Qur'an, yang menerangkan hal ini (kecuali sifat-sifat 'tidak langsung' tentang esensi dari Zat Allah di atas). Hal-hal yang disebut dalam kitab suci Al-Qur'an, hanya berupa "gaib perbuatan" (perbuatan: Allah, ruh para makhluk gaib, ruh manusia, dsb), yang memang mestinya masih bisa dinalar.
Pengungkapan atas "gaib perbuatan" ini telah semaksimal mungkin dilakukan, melalui seluruh pembahasan pada buku "Menggapai Kembali Pemikiran Rasulullah SAW", terutama berdasar segala keterangan dari kitab suci Al-Qur'an, di samping berdasar ilmu-pengetahuan dan pengalaman rohani-batiniah-spiritual langsung.
Dalam mengenal tiap manusia ataupun makhluk-Nya lainnya, dengan menilai segala tindakan atau perbuatannya, yang bersifat relatif jelas, sering, teratur, konsisten atau tidak berubah-ubah, maka relatif bisa diketahui atau dinalar, tentang berbagai kehendak dan sifatnya dalam berbuat (sifat perbuatannya).
Hal yang serupa pula dalam berusaha mengenal Allah, Yang Maha Gaib dan Yang segala perbuatan-Nya di alam semesta ini, memang bersifat 'mutlak' (pasti terjadi / berlaku) dan 'kekal' (pasti konsisten / tidak berubah-ubah).
Istilah "wujud Zat Allah", yang tergambar dalam Asmaul Husna, juga yang dipakai dalam buku "Menggapai Kembali Pemikiran Rasulullah SAW", mestinya dipahami sebagai "perwujudan dari perbuatan Zat Allah", Fitrah Allah atau sifat-sifat Allah, tetapi bukan sebagai "wujud atau sosok Zat Allah". Karena segala perbuatan Allah, ketika menciptakan seluruh alam semesta ini dan segala isinya (termasuk umat manusia), adalah hasil perwujudan dari Fitrah Allah tersebut (pada QS.30:30).
Sedangkan hanya semata apa yang "ada" dan "terjadi" di alam semesta ini, yang bisa dilihat, dirasakan dan dipelajari oleh umat manusia (bahkan juga termasuk para nabi-Nya), tentang Allah dan sifat-sifat-Nya.
Pada Asmaul Husna hanya ada 2 jenis kata, yaitu kata "kerja" (Maha Menjaga, Maha Memelihara, Maha Mengatur, Maha Mengetahui, dsb) dan kata "sifat" (Maha Esa, Maha Mulia, Maha Tinggi, Maha Luas, Maha Suci, Maha Adil, dsb).
Pada Asmaul Husna yang berupa kata 'sifat', hanya bisa dipahami dari mempelajari 'sifat-sifat' dari segala 'hasil' perbuatan Allah di alam semesta ini ("tanda-tanda kekuasaan-Nya"). Sedangkan Asmaul Husna yang berupa kata 'kerja', tentunya justru langsung menerangkan tentang perbuatan Allah.
Akhirnya, "wujud Zat Allah" dan "Fitrah Allah" (sifat-sifat terpuji Allah), adalah "gaib perbuatan", yang mestinya masih bisa dinalar oleh akal-pikiran manusia.
  1. Sunatullah berupa tak-terhitung aturan / rumus proses.
  2. Sunatullah berlaku sesuai segala keadaan zat ciptaan-Nya
  3. Sunatullah berlaku secara terselubung
  4. Perkiraan kejadian, dengan memahami sunatullah.
  5. Sunatullah tidak pernah berubah, sampai akhir jaman.
  6. Seluruh proses pada sunatullah tidak saling bertentangan.
  7. Sunatullah mengatur segala proses lahiriah & batiniah.
  8. Sunatullah mengatur proses pemberian balasan-Nya
  9. Alam semesta diciptakan-Nya, melalui sunatullah.
  10. Sunatullah memiliki unsur pemaksaan (pasti berlaku).
  11. Alam semesta tetap tegak-kokoh, karena berjalannya sunatullah.
  12. Sunatullah menjaga keseimbangan alam semesta.
  13. Tiap manusia bebas memanfaatkan sunatullah.
  14. Allah mengutus para nabi-Nya, melalui sunatullah.
  15. Allah menurunkan berbagai hal, melalui sunatullah.
  16. Pengetahuan dan pengalaman, wujud sunatullah.
  17. Do'a, usaha batiniah yang diatur oleh sunatullah.
  18. Pelaksanaan sunatullah dikawal oleh tak-terhitung malaikat.








No comments:

Post a Comment

×
 
SANG-ILMU © 2011 sang-ilmu.blogspot.com. Supported by Mustafa and Tiwi