KEADILAN DAN PERBUATAN ALLAH SWT
A.
KEADILAN ALLAH SWT
Kata keadilan dan maksudnya sudah tidak
asing lagi bagi setiap manusia. Ia merupakan sesuatu yang sangat diharapkan dan
didambakan oleh orang-orang yang merasakan kehidupan sosial sudah tidak wajar
lagi. Berbicara tentang keadilan tidak mengenal batas, ruang dan waktu. Dimana
saja komunitas manusia berada, maka kata keadilan akan muncul bersamaan
dengannya. Apa sebenarnya keadilan itu? Bagaimana Islam memandang keadilan? dan
apa yang telah Islam upayakan dalam menegakkan keadilan.
Memang kata keadilan mempunyai makna yang
luas dan banyak tergantung terminologi yang kita pakai untuk memaknainya. Dalam
salah satu terminologi, keadilan bermakna meletakkan sesuatu pada tempatnya,
dalam terminologi yang lain keadilan diartikan memberikan hak kepada
pemiliknya, dan juga berarti sebuah bawaan dalam diri seseorang untuk
senantiasa menjaga konsekuensi-konsekuensi taqwa dan lain sebagainya. Dalam hal
ini kami akan membahas keadilan yang
berkaitan dengan sifat Allah (Keadilan Ilahi) dan implikasinya dalam kehidupan
umat manusia.
1.
Keadilan adalah sifat Allah SWT
Kaum muslimin bersepakat bahwa Allah adalah
Zat Yang Mahaadil dan Mahabijaksana. Karena Quran dalam beberapa ayatnya
mengata-kan tentang hal itu dan menafikan sifat zhalim dari Allah. Meski mereka bersepakat tentang
masalah ini, namun pada kajian teologi Islam terdahulu sempat terjadi
perdebatan yang sangat seru antara golongan yang mengatakan dirinya sebagai
"Adliyyah" dan golongan
yang disebut dengan "Non Adliyyah".
Perbedaan tersebut muncul karena perbedaan
frame untuk melihat apa atau siapa yang menentukan baik dan buruknya perbuatan
dasar manusia. Sehubungan dengan keadilan, golongan pertama berpendapat bahwa
Allah tidak berbuat sesuatu kecuali dengan adil dan bijak, sementara yang kedua
mengatakan bahwa segala perbuatan Allah pasti berdasarkan keadilan. Sekilas dua
pernyataan tadi sama, tetapi sebenarnya berbeda. Dan perbedaan itu terletak
pada yang telah disebutkan tadi. Dalam
pandangan Imamiyyah-Ahlil Bait, masalah keadilan menduduki posisi yang amat
sangat penting sekali dan mereka menjadikannya sebagai dasar agama setelah
"Tauhid". Perlu diinformasikan bahwa dalam kajian awal tentang ilmu
akidah Imamiyyah diterangkan lima dasar agama (Ushuluddin al khamsah): Tauhid, Keadilan, Kenabian, Kepemimpinan,
dan Ma’ad. Menurut mereka, sifat adil dijadikan sebagai salah satu dari
dasar-dasar agama sementara sifat-sifat lainnya tidak, karena beberapa alasan
berikut ini;
Diantara sifat-sifat dan asma Allah, keadilan
mempunyai keistimewaan tersendiri karena menurut Syaikh Makarim Syirazi,
beberapa sifat-sifat Allah kembali kepada sifat adil seperti sifat kasih
sayang, pemberi rezeki, bijaksana dan lainnya.
Oleh karena cabang-cabang agama merupakan
pancaran dari dasar-dasar agama dan syariat diturunkan sebagai upaya Tuhan
untuk menegakkan keadilan di tengah masyarakat umat manusia. maka sifat
adil Allah menjadi lebih menonjol dibandingkan sifat-sifat lainnya.
Menjadikan sifat adil sebagai salah satu dasar dari agama
memberikanindikasi secara eksplisit bahwa keadilan harus ditegakkan dan itu
termasuk dari anjuran hadits Qudsi, "Berakhlaklah dengan akhlak
Allah".
Lebih jelasnya keadilan merupakan poros
dari seluruh ajaran agama, dan juga sebagai penyebab diutusnya para Nabi,
diturunkannya kitab-kitab dan dibangkitkannya manusia di alam mahsyar dan alam
akhirat, atau dengan kata lain, elemen-elemen agama seperti syariat, kenabian,
kepemimpinan dan kebangkitan hari akhirat merupakan konsekuensi logis dari
keadilan Ilahi. Karena jika Allah tidak mengutus para Nabi dan tidak menurunkan
kitab, maka tujuan dari penciptaan manusia (yaitu kesempurnaan manusia dengan
kembali kepada-Nya) tidak akan tercapai, atau paling tidak, sangat sulit,
sehingga dengan sendirinya, penciptaan manusia dan alam sekitarnya akan menjadi
sia-sia. Demikian pula jika tidak ada hari pembalasan, maka Allah sangatlah
tidak adil karena karena Ia membiarkan orang-orang yang berbuat kejahatan dan
penindasan tanpa balasan dan membiarkan orang-orang yang tertindas tidak
mendapat menyaksikan balasan atas-orang-orang yang pernah menindas mereka. Nah
untuk itu semua, Allah Yang Mahaadil mengutus para Nabi, menurunkan kitab dan
membangkitkan manusia di alam akhirat.
Keadilan Ilahi tidak hanya berkaitan dengan
moral dan peraturan sosial-kemanusiaan
saja, tetapi keadilan Ilahi berlaku juga dalam menciptakan alam raya
lahiriah ini. Nabi Muhammad saaw. bersabda, "Dengan keadilan langit dan
bumi ditegakkan". Artinya tanpa keadilan, ekosistem alam semesta ini tidak
akan tegak atau malah alam ini tidak akan ada sama sekali. Jadi alam raya ini
ada karena keadilan, dan sistem yang berlaku di dalamnya juga dengan adil.
Oleh karena itu, sifat adil menjadi sifat
yang paling nyata dan paling berperan dalam perbuatan-perbuatan Allah, baik
yang berkaitan dengan karya alami yang lahiriah atau filosofi penciptaan.
2.
Konsep keadilan Allah dilihat dari Antonimnya
Para Ulama menyebutkan anonim dari keadilan
yaitu kezhaliman. Kata kezhaliman mempunyai arti yang banyak sebanyak arti kata
keadilan itu sendiri. Allah SWT sebagai Zat Yang Mahaadil sangat jauh dari
sifat zhalim (lihat surat Yunus: 144, Al Nisa: 40, Al Anbiya: 47 dan Qaf: 29).
Jadi dua kata ini tidak mungkin kumpul dalam diri satu zat. Ketika Allah
disifati adil berarti Dia tidak zhalim. Yang menarik, para ulama ketika hendak
membuktikan keadilan Allah biasanya mereka terlebih dahulu menafikan dari-Nya
faktor-faktor perbuatan zhalim. Diantara faktor-faktor tersebut adalah:
a) Kebodohan
Terkadang seseorang berbuat kezhaliman atau
kesalahan karena dia tidak mengetahui bahwa yang dia lakukan itu adalah salah
atau zhalim. Oleh karena Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu, maka tidak
mungkin Dia tidak mengetahui perbuatan yang zhalim dan salah itu.
b) Kebutuhan
Faktor lain seseorang berbuat kezhaliman
atau kesalahan adalah dia membutuhkan sesuatu yang tidak dia miliki, lalu dia
mencoba mengambilnya secara zhalim. Allah Mahakaya sehingga Dia tidak
membutuhkan kepada selain diri-Nya sendiri.
c) Kelemahan
Seseorang karena tidak berdaya untuk
menghindari kezhaliman atau kesalahan, maka dia terpaksa melakukannya. Allah
Zat Yang Mahakuasa untuk berbuat sesuatu sehingga tidak ada sesuatupun yang
memaksa-Nya.
d) Main-main
Seringkali seseorang berbuat kezhaliman
atau kesalahan hanya karena main-main atau iseng. Allah jauh dari mempunyai
motivasi seperti itu, karena motivasi ini timbul dari seseorang yang tidak
mempunyai tujuan dalam perbuatannya.
Tentu empat faktor tadi tidak ada pada Zat
Allah, maka Dia tidak akan pernah berbuat kezhaliman atau dengan kata lain, Dia
selalu berbuat sesuatu dengan adil. Atas dasar asumsi ini, maka segala fenomena
alam eksternal seperti gempa bumi, gunung berapi dan lainnya ataupun internal
seperti cacat fisik, kelaparan dan lainnya bukanlah fenomena-fenomena yang dikecualikan
dari keadilan Ilahi. Secara umum dan global fenomena-fenomena itu mengandung
sebuah nilai sains-filosofis yang sebagian darinya telah terungkap. Allah
berfirman: "Yang telah baik menciptakan segala sesuatu" (Qs. Sajdah:
7). Karena tidak ada alasan dan faktor bagi Allah untuk melakukan kesalahan dan
kezhaliman, seperti tersebut tadi. Jadi jika ada fenomena khususnya yang
internal bukanlah kesalahan atau kezhaliman dari Allah, tapi itu merupakan
kesalahan manusia kalau tidak, ia mengandung sebuah kemashlahatan.
B.
PERBUATAN ALLAH SWT
Dalam
hal ini kami mengimplementasikan bahwa perbuatan Allah SWT itu diwujudkan
melalui sunatullah. Segala perbuatan Allah di seluruh alam semesta ini (secara
lahiriah dan batiniah), justru terwujud melalui sunatullah (Sunnah Allah).
Walaupun perwujudan atau pelaksanaan sunatullah memang dilakukan bukan
langsung oleh Allah sendiri. Namun
terutama dilakukan oleh tak-terhitung jumlah para malaikat-Nya di seluruh alam
semesta, dengan segala macam tugasnya masing-masing, dalam mengatur segala
urusan-Nya. Berikut ini merupakan penjelasan sunatullah sebagai bentuk
perwujudan dari segala kehendak, tindakan atau perbuatan-Nya di seluruh alam
semesta ini, secara garis besar yaitu :
- Sunatullah, bagian terpenting dari ilmu-pengetahuan-Nya.
Ilmu-pengetahuan-Nya adalah segala sesuatu hal yang
bersifat 'mutlak' (pasti terjadi / berlaku) dan 'ekal (pasti konsisten / tidak
berubah-ubah), baik saat sebelum diciptakan-Nya alam semesta ini, saat masih
tegak-kokohnya alam semesta ini, maupun saat setelah berakhirnya alam semesta
ini (akhir jaman).
Segala ilmu-pengetahuan-Nya di alam semesta ini juga biasa disebut segala kebenaran-Nya;
tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya; ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis;
Al-Qur'an dan kitab-Nya yang berbentuk gaib, yang tercatat pada kitab mulia
(Lauh Mahfuzh) di sisi 'Arsy-Nya; wajah-Nya; firman, kalam, kalimat atau
wahyu-Nya yang sebenarnya; dsb.
Semua sebutan ini hanya berbeda fokus dan pemakaiannya saja, namun merujuk kepada hal yang sama, berupa segala sesuatu hal yang bersifat mutlak dan kekal, pada segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadian (lahiriah dan batiniah) di alam semesta ini.
Semua sebutan ini hanya berbeda fokus dan pemakaiannya saja, namun merujuk kepada hal yang sama, berupa segala sesuatu hal yang bersifat mutlak dan kekal, pada segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadian (lahiriah dan batiniah) di alam semesta ini.
Sunatullah adalah bagian yang bersifat dinamis dari
ilmu-pengetahuan-Nya di alam semesta ini. Karena sunatullah memang hanya semata
terkait dengan segala proses penciptaan dan segala proses kejadian lainnya
(segala proses dinamis). Sunatullah itu sendiri tidak berubah-ubah, namun
masukan dan keluaran prosesnya yang bisa selalu berubah-ubah secara dinamis
(segala keadaan lahiriah dan batiniah tiap saatnya), dan tentunya sunatullah
juga berjalan atau berlaku tiap saatnya.
Sunatullah berupa tak-terhitung jumlah aturan atau rumus
proses kejadian (lahiriah dan batiniah), yang bersifat mutlak dan kekal, yang
tiap saatnya pasti selalu mengatur segala zat ciptaan-Nya di alam semesta ini.
Sebagian dari ilmu-pengetahuan-Nya lainnya (umumnya bersifat statis), seperti:
Segala sifat
pembeda-esensi-statis pada segala zat ciptaan-Nya (ciri khas statisnya
masing-masing);
·
Segala keadaan lahiriah dan batiniah tiap saatnya pada segala zat
ciptaan-Nya (qadla-Nya bagi masing-masingnya tiap saatnya);
·
Segala bentuk
pengajaran dan tuntunan-Nya, secara lahiriah dan batiniah (sebagian
terbesarnya justru telah terkandung'pula dalam sunatullah);
·
Hakekat dan
tujuan utama penciptaan alam semesta dan segala isinya ini (segala
jenis zat ciptaan-Nya), termasuk tujuan kehidupan umat manusia;
·
Segala sesuatu hal
pada saat sebelum terciptanya alam semesta ini, dan pada saat setelah
berakhirnya alam semesta ini (akhir jaman);
·
Dan segala bentuk
ketetapan dan kebenaran-Nya lainnya.
Khusus tentang ilmu-pengetahuan-Nya, yang
berupa segala keadaan lahiriah dan batiniah tiap saatnya, pada segala zat
ciptaan-Nya di atas (qadla-Nya bagi masing-masingnya tiap saatnya), justru
hanya semata bersifat 'mutlak' (pasti terjadi / berlaku) dan 'kekal' (pasti
konsisten / tidak berubah-ubah), segera sesaat setelah berlakunya sunatullah
tiap saatnya, atas tiap zatnya. Serta kekekalan inipun justru bukan berupa
kekekalan keadaannya sendiri, namun berupa kekekalan 'catatan' atas tiap
kejadian perubahan keadaannya (Lauh Mahfuzh).
Pemahaman atas sunatullah justru amat
penting untuk dimiliki oleh umat Islam, selain karena bagian dari
ilmu-pengetahuan-Nya, juga karena sunatullah sebutan lain bagi segala kehendak,
tindakan atau perbuatan-Nya di alam semesta ini.
Dengan memahami sunatullah, umat tentunya
juga relatif bisa memahami ajaran-ajaran agama-Nya, secara utuh dan mendalam.
Sedangkan agama-Nya itu sendiri memang bentuk kehendak atau keredhaan-Nya bagi
seluruh umat manusia.
Bahkan pemahaman atas sunatullah relatif paling dikuasai
oleh para nabi-Nya, dibanding seluruh umat manusia lainnya di tiap jamannya,
terutama karena mereka memang relatif amat sering mengamati dan mempelajari
"tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya" di alam semesta ini
(lahiriah dan batiniah).
Dengan sifat dinamisnya, tentunya
sunatullah adalah bagian yang paling penting dari ilmu-pengetahuan-Nya.
Sedangkan ilmu-pengetahuan-Nya yang bersifat statis di alam semesta ini, justru
relatif mudah bisa diungkap oleh umat manusia, misalnya sifat-sifat pada: zat
ruh, beserta elemen-elemennya (akal, nafsu, hati, hati-nurani, catatan amal, dsb);
berbagai jenis Atom-materi; berbagai jenis energi; berbagai jenis benda langit;
dsb. Sedangkan diketahui dalam "Urutan
penciptaan alam semesta", bahwa 'Ruh', 'Materi terkecil' dan
'Energi', adalah elemen-elemen yang paling dasar, bagi penciptaan alam semesta
dan segala isinya ini.
- Ilmu-pengetahuan manusia, wujud sunatullah.
Segala bentuk ilmu-pengetahuan (beserta segala teori dan
rumus di dalamnya), yang dikenal dan dicapai oleh manusia, secara "amat
obyektif" (sesuai dengan fakta-kenyataan-kebenaran secara apa adanya,
tanpa ditambah dan dikurangi), pada dasarnya hanya semata hasil dari
pengungkapan, atas sebagian amat sangat sedikit dari ilmu-pengetahuan-Nya (terutama
sunatullah).
Bahkan nantinya, segala bentuk ilmu-pengetahuan yang
belum dikenal, juga hanya hasil dari usaha mengungkap atau memformulasikan
sunatullah, yang justru telah ditentukan atau ditetapkan-Nya, sebelum awal
penciptaan alam semesta ini.
Dan segala bentuk ilmu-pengetahuan lainnya pada manusia,
yang bukan hasil dari usaha mengungkap atau memformulasikan sunatullah, secara
"amat obyektif", tentunya bukan bentuk ilmu-pengetahuan yang 'benar'.
Ke-Maha Tinggi-an ilmu-pengetahuan-Nya terutama yang berupa
sunatullah (lahiriah dan batiniah), mustahil bisa tercapai seluruhnya oleh umat
manusia, atau tidak akan pernah terungkap tuntas sampai akhir jaman. Sehingga
usaha dan penyempurnaan pemahaman atas sunatullah ataupun ilmu-pengetahuan-Nya,
mestinya terus menerus selalu dilakukan, dari umat ke umat, dari jaman ke
jaman.
Ilmu-pengetahuan Allah, Yang Maha Mengetahui bersifat
'mutlak' (pasti benar) dan 'kekal' (selalu benar). Sedangkan segala bentuk
ilmu-pengetahuan manusia (bahkan termasuk para nabi-Nya), pasti bersifat
'relatif' (tidak mutlak benar), 'fana' (hanya benar dalam keadaan tertentu) dan
'terbatas' (tidak mengetahui segala sesuatu hal). Karena tiap manusia memang
pasti memiliki segala kekurangan dan keterbatasan.
Namun tiap manusia justru bisa berusaha semaksimal mungkin, agar tiap bentuk ilmu-pengetahuannya bisa makin 'sesuai' atau 'mendekati' ilmu-pengetahuan Allah di alam semesta ini, dengan menggunakan akalnya secara relatif makin cermat, obyektif dan mendalam.
Namun tiap manusia justru bisa berusaha semaksimal mungkin, agar tiap bentuk ilmu-pengetahuannya bisa makin 'sesuai' atau 'mendekati' ilmu-pengetahuan Allah di alam semesta ini, dengan menggunakan akalnya secara relatif makin cermat, obyektif dan mendalam.
Usaha seperti ini justru juga telah dilakukan oleh para
nabi-Nya. Sehingga seluruh pengetahuan mereka tentang pengetahuan atau
kebenaran-Nya, terutama yang paling penting, mendasar dan hakiki bagi kehidupan
umat manusia (hal-hal gaib dan batiniah), memang telah bisa tersusun relatif sempurna
(relatif amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling
bertentangan secara keseluruhannya). Hal ini yang justru telah
mengakibatkan tiap pengetahuan mereka, bisa disebut 'wahyu-Nya'. Baca pula
artikel/posting "Cara proses
diturunkan-Nya wahyu".
Segala bentuk ilmu-pengetahuan manusia mestinya bisa
dipilih terlebih dahulu, secara amat hati-hati, cermat dan selektif, sebelum
dipakai atau diyakini, karena relatif bisa mudah menyesatkan, terutama pada
agama, ajaran dan paham yang bersifat 'musyrik' dan 'materialistik', yang
memang pasti tidak sesuai dengan kebenaran-Nya (mustahil berasal dari Allah dan
tidak bersifat mendasar / hakiki).
Seperti misalnya pada teori-paham: teori evolusi Darwin; teori filsafat dan psikologi (Sigmund
Freud, Karl Marx, dsb); paham materialisme, kapitalisme dan sosialisme, berikut
segala teori kemasyarakatan dan ekonominya; paham feminisme barat; teori
demokrasi dan HAM; ajaran agama-agama musyrik; dsb.
- Allah berbuat di alam semesta, melalui sunatullah.
Secara garis besarnya, hal-hal gaib bisa dibagi menjadi
dua kelompok besar, yaitu: "gaib zat" dan "gaib perbuatan".
"Gaib zat" ini meliputi: Zat Allah (ruh Pencipta) dan zat-zat
makhluk-Nya (ruh-ruh makhluk ciptaan-Nya). Sedangkan hal-hal gaib yang di
luar "gaib zat" ini, tentunya seluruhnya berupa "gaib
perbuatan". Jika "gaib zat" menyangkut 'esensi' dari zat-zat
gaib, maka "gaib perbuatan" menyangkut 'perbuatan' dari zat-zat gaib.
Umat manusia mustahil bisa menjelaskan hakekat dari
zat-zat gaib ("gaib zat"), karena mustahil mampu dijangkau dengan
alat-alat indera ataupun akal-pikirannya. Bahkan salah-satu dari sifat Allah,
adalah 'Maha Gaib', yang justru sama sekali tidak dimiliki oleh segala
makhluk-Nya.
Dalam "interaksi secara terang-terangan" misalnya, manusia bahkan masih bisa mengetahui "wujud asli" dari para makhluk gaib (mengetahui 'sebagian' dari sifat zat ruhnya, seperti: usia, jenis kelamin dan bangsanya). Walaupun interaksi seperti ini hanya terjadi dalam keadaan tertentu, dan hanya pernah dialami oleh amat terbatas jumlah manusia (termasuk sebagian dari para nabi-Nya).
Dalam "interaksi secara terang-terangan" misalnya, manusia bahkan masih bisa mengetahui "wujud asli" dari para makhluk gaib (mengetahui 'sebagian' dari sifat zat ruhnya, seperti: usia, jenis kelamin dan bangsanya). Walaupun interaksi seperti ini hanya terjadi dalam keadaan tertentu, dan hanya pernah dialami oleh amat terbatas jumlah manusia (termasuk sebagian dari para nabi-Nya).
Di lain pihaknya, manusia mustahil berinteraksi langsung
dengan Zat Allah, karena pasti terhalang oleh segala 'tabir', atau pasti hanya
melalui perantaraan wahyu dan para utusan-Nya (pada QS.42:51). Maka hampir tidak ada yang bisa diketahui oleh
manusia, tentang 'esensi' dari Zat Allah, kecuali: Ada (wujud), Maha Esa, Maha
Gaib (Maha Tersembunyi), Maha Kekal, Maha Awal, Maha Akhir dan Maha Hidup.
Bahkan sifat-sifat-Nya inipun 'tidak terkait langsung' dengan 'esensi' dari Zat
Allah, namun hanya berupa gambaran-fenomena umum 'di sekitar' Zat Allah.
Namun keberadaan zat-zat gaib itu justru bisa dirasakan,
diketahui atau dipahami, dari segala perbuatannya yang ada di alam semesta ini,
karena alam semesta ini memang diciptakan-Nya, agar tiap makhluk-Nya bisa
mengenal Allah, Tuhan Yang telah menciptakannya dan alam semesta ini, beserta
segala kekuasaan, kemuliaan dan kesempurnaan-Nya. Juga sekaligus tentunya agar
bisa menyembah dan mengabdi kepada-Nya. Sehingga Allah, terutama melalui para
malaikat-Nya, memang melakukan segala sesuatu perbuatan, agar tiap manusia bisa
mengenal Allah. Segala perbuatan dari zat-zat gaib itu, yang disebut "gaib
perbuatan" di atas.
Sederhananya dalam hal "gaib perbuatan" itu,
relatif hanya masalah kemampuan dan waktu tiap manusia untuk bisa memahaminya,
karena segala perbuatan-Nya di alam semesta ini (melalui segala perbuatan dari
para malaikat-Nya, secara lahiriah dan batiniah), justru bersifat 'mutlak'
(pasti terjadi / berlaku) dan 'kekal' (pasti konsisten / tidak berubah-ubah).
Maka "gaib perbuatan" itupun pasti mengikuti logika-nalar, aturan
atau rumus proses, yang 'pasti' dan 'jelas', walaupun memang juga bersifat amat
sangat halus, tidak kentara atau gaib (tersembunyi). Dan segala perbuatan-Nya
ini yang juga biasa disebut 'sunatullah' (Sunnah Allah / aturan-Nya).
Baca pula poin u di bawah (pelaksanaan sunatullah dikawal oleh para malaikat).
Baca pula poin u di bawah (pelaksanaan sunatullah dikawal oleh para malaikat).
Di samping karena bersifat gaib di atas, persoalan amat
pentingnya juga ada pada sunatullah, yang 'tak-terhitung' jumlah aturan atau
rumus prosesnya, yang tidak akan pernah bisa dikuasai semuanya oleh manusia
(relatif hanya bisa sebagian amat sangat sedikit saja). Sehingga hal-hal yang
terjadi di alam semesta ini, 'seolah-olah' tampak amat sulit bisa dipahami,
tidak teratur, tidak pasti dan tidak jelas.
Hal-hal yang mustahil bisa dijelaskan atau dinalar,
adalah hakekat dari Zat Allah dan sebagian hakekat dari zat ruh-ruh
makhluk-Nya. Juga "gaib zat" ini memang relatif tidak
perlu dan tidak ada manfaatnya untuk dinalar. Bahkan tidak ada satupun ayat
kitab suci Al-Qur'an, yang menerangkan hal ini (kecuali sifat-sifat 'tidak
langsung' tentang esensi dari Zat Allah di atas). Hal-hal yang disebut dalam
kitab suci Al-Qur'an, hanya berupa "gaib perbuatan" (perbuatan:
Allah, ruh para makhluk gaib, ruh manusia, dsb), yang memang mestinya masih
bisa dinalar.
Pengungkapan atas "gaib perbuatan" ini telah
semaksimal mungkin dilakukan, melalui seluruh pembahasan pada buku "Menggapai
Kembali Pemikiran Rasulullah SAW", terutama berdasar segala
keterangan dari kitab suci Al-Qur'an, di samping berdasar ilmu-pengetahuan dan
pengalaman rohani-batiniah-spiritual langsung.
Dalam mengenal tiap manusia ataupun makhluk-Nya lainnya,
dengan menilai segala tindakan atau perbuatannya, yang bersifat relatif jelas,
sering, teratur, konsisten atau tidak berubah-ubah, maka relatif bisa diketahui
atau dinalar, tentang berbagai kehendak dan sifatnya dalam berbuat (sifat
perbuatannya).
Hal yang serupa pula dalam berusaha mengenal Allah, Yang
Maha Gaib dan Yang segala perbuatan-Nya di alam semesta ini, memang bersifat
'mutlak' (pasti terjadi / berlaku) dan 'kekal' (pasti konsisten / tidak
berubah-ubah).
Istilah "wujud Zat Allah", yang tergambar dalam
Asmaul Husna, juga yang dipakai dalam buku "Menggapai
Kembali Pemikiran Rasulullah SAW", mestinya dipahami sebagai
"perwujudan dari perbuatan Zat Allah", Fitrah Allah atau sifat-sifat
Allah, tetapi bukan sebagai "wujud atau sosok Zat Allah". Karena
segala perbuatan Allah, ketika menciptakan seluruh alam semesta ini dan segala
isinya (termasuk umat manusia), adalah hasil perwujudan dari Fitrah Allah
tersebut (pada QS.30:30).
Sedangkan hanya semata apa yang "ada" dan
"terjadi" di alam semesta ini, yang bisa dilihat, dirasakan dan
dipelajari oleh umat manusia (bahkan juga termasuk para nabi-Nya), tentang
Allah dan sifat-sifat-Nya.
Pada Asmaul Husna hanya ada 2 jenis kata, yaitu kata
"kerja" (Maha Menjaga, Maha Memelihara, Maha Mengatur, Maha
Mengetahui, dsb) dan kata "sifat" (Maha Esa, Maha Mulia, Maha Tinggi,
Maha Luas, Maha Suci, Maha Adil, dsb).
Pada Asmaul Husna yang berupa kata 'sifat', hanya bisa dipahami
dari mempelajari 'sifat-sifat' dari segala 'hasil' perbuatan Allah di alam
semesta ini ("tanda-tanda kekuasaan-Nya"). Sedangkan Asmaul Husna yang berupa kata 'kerja', tentunya justru
langsung menerangkan tentang perbuatan Allah.
Akhirnya, "wujud Zat Allah" dan "Fitrah
Allah" (sifat-sifat terpuji Allah), adalah "gaib perbuatan",
yang mestinya masih bisa dinalar oleh akal-pikiran manusia.
- Sunatullah berupa tak-terhitung aturan / rumus proses.
- Sunatullah berlaku sesuai segala keadaan zat ciptaan-Nya
- Sunatullah berlaku secara terselubung
- Perkiraan kejadian, dengan memahami sunatullah.
- Sunatullah tidak pernah berubah, sampai akhir jaman.
- Seluruh proses pada sunatullah tidak saling bertentangan.
- Sunatullah mengatur segala proses lahiriah & batiniah.
- Sunatullah mengatur proses pemberian balasan-Nya
- Alam semesta diciptakan-Nya, melalui sunatullah.
- Sunatullah memiliki unsur pemaksaan (pasti berlaku).
- Alam semesta tetap tegak-kokoh, karena berjalannya sunatullah.
- Sunatullah menjaga keseimbangan alam semesta.
- Tiap manusia bebas memanfaatkan sunatullah.
- Allah mengutus para nabi-Nya, melalui sunatullah.
- Allah menurunkan berbagai hal, melalui sunatullah.
- Pengetahuan dan pengalaman, wujud sunatullah.
- Do'a, usaha batiniah yang diatur oleh sunatullah.
- Pelaksanaan sunatullah dikawal oleh tak-terhitung malaikat.
No comments:
Post a Comment