Berikut ini adalah
sebuah kisah untuk menginspirasi kita menjadi sosok yang bisa dicontoh dengan
tauladan yang baik. Okeh nih langsung aja saya kasih ceritanya yang saya kasih
judul “Si Pemimpin Miskin”.
Hari itu kota Hims, salah satu kota besar di bilangan Syam, dikejutkan oleh
inspeksi mendadak sang khalifah Umar bin Khoththob. Sebenarnya inspeksi semacam
ini bukan hal yang aneh bagi kaum muslimin pada zaman itu. Pasalnya, khalifah
yang satu ini memang terkenal suka melakukan peninjauan langsung terhadap
kinerja seluruh staf-staf kenegaraannya. Apabila ada hal yang tidak beres dia
tidak segan-segan memecat dan mengganti pegawainya.Begitu tiba di kota Hims, Umar meminta kepada beberapa staf setempat untuk mensurvey nama-nama fakir miskin di wilayah tersebut. Beberapa saat kemudian, para pegawai kembali dengan sebuah laporan tertulis berisi daftar nama-nama fakir miskin.
Disaat membuka buku laporan itu lembar demi lembar, tiba-tiba pandangannya terhenti pada sebuah nama, "Sa'id bin 'Amir". Sejenak, dia berkelana didalam memori kepalanya, membongkar tumpukan nama-nama orang yang pernah ia kenal, sembari mencocokan nama orang ini: "Sa'id bin 'Amir", sepertinya nama ini tidak asing baginya.
"siapa yang
kalian maksud dengan Sa'id bin 'Amir disini?" Tanya Umar keheranan.
" wahai amirul
mukminin, dia itu gubernur kami" jawab mereka.
"apa..!?
gubernur kalian?!? " Mendengar jawaban itu ubun-ubun Umar bagai disambar
petir. Ternyata dugaannya benar, orang ini memang sangat tidak asing baginya. "Bagaimana
namanya bisa dia masuk kedalam daftar fakir miskin? Kemana gajinya selama
ini?"
"wahai amirul
mukminin, dia tidak menyimpan gajinya sedikit pun" jawab mereka.
Mendengar pernyataan
tersebut hatinya menjadi luluh, tanpa terasa butir demi butir air mata mulai
membanjiri pipinya, membayangkan betapa sengsaranya sahabat sekaligus orang
kepercayannya yang satu ini menanggung beban.
Gubernur yang satu ini begitu zuhud. Tiap bulannya, dia hanya mengambil beberapa keping uang gaji yang dia rasa cukup untuk memenuhi kebutuhan harian rumah tangganya, sisanya dia sedekahkan kepada fakir miskin.
Sebagai seorang gubernur, sosoknya begitu berbeda dibandingkan para pejabat negara lainnya, begitu kontras dengan jabatan yang ia sandang. Tidak punya istana, penampilan ala kadarnya, tidak ada satupun petugas keamanan berjaga di pintu rumahnya, dan tidak ada seorang pun pelayan atau budak belian di rumahnya.
Sa'id bin 'Amir bin
Hadzyam, memeluk agama islam beberapa waktu sebelum terjadinya perang Khaibar.
Reputasinya sebagai salah satu orang-orang sholih yang dapat diamanahi,
mendorong Umar untuk memanggilnya beberapa waktu lalu seraya berkata, "Sa'id,
aku memanggilmu kemari untuk mengangkatmu sebagai gubernur di wilayah
Syam".
Kalau saja manusia
zaman sekarang disodorkan tawaran semacam ini, tentu dia akan kegirangan bukan
kepalang. Begitulah orang-orang yang memandang kekuasaan sebagai ladang subur
untuk meningkatkan taraf perekonomian hidup.
Namun lain halnya
dengan orang-orang yang pernah mengenyam bangku madrasah Rosulullah -sholallahu
'alaihi wasalam- semacam Sa'ad bin 'Amir. Jawaban yang keluar dari mulutnya
bukanlah "jazakallahu khoiron" atau ucapan manis semacamnya, melainkan
kata-kata, "wahai Umar, kumohon, jangan kau lempar diriku ke dalam
kubangan fitnah".
Begitulah, sahabat
yang mulia ini menolak mentah-mentah tawaran mengiurkan itu. Aneh memang, kalau
dilihat melalui kacamata materialis tentu perbuatannya ini merupakan hal dungu.
"Alangkah bodohnya orang ini, diberi kesempatan hidup enak kok malah
disia-siakan", kira-kira begitulah tanggapan orang-orang yang hatinya
sudah terbakar nafsu dunia.
Adapun Sa'id bin 'Amir, melalui pelajaran-pelajaran nubuwah yang ia cerna selama di madrasah Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasalam-, dia memahami bahwa berkuasa sama artinya dengan menanggung beban amanat sangat-sangat berat untuk di pertanggungjawabkan di padang mahsyar nanti. Setiap rasa lapar yang diderita rakyatnya, sekecil apapun kedzaliman yang terjadi, itu semua akan menjadi bahan pertanyaan pada hari kiamat kelak.
Namun, Umar lantas menanggapi penolakan Sa'id tadi dengan tegas, "demi Allah, aku harus memaksamu, seenaknya saja kalian membebankan amanat ini ke atas pundakku lantas kalian mau pergi bagitu saja tanpa membantuku".
Jawaban Umar barusan membuatnya terpaksa menerima tawaran tadi, bukan atas dasar hawa nafsu untuk menjadi penguasa, melainkan atas dasar menjalankan perintah Allah ta'ala untuk saling membantu dalam melaksanakan ketakwaan. Memang tidak adil rasanya, apabila Sa'id membiarkan Umar bin Khoththob sendirian menanggung beban amanah kekhalifahan yang berat, sementara dia memiliki kemampuan untuk membantunya. Yang membebani Umar dengan amanat berat kekhalifahan itu adalah para sahabat, jadi sudah sepantasnyalah bagi para sahabat seperti Sa'id untuk membantunya. Begitulah para sahabat Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasalam-, memandang amanah kekuasaan bukan sebagai sesuatu yang layak untuk diperebutkan, melainkan sebagai suatu beban berat yang akan memperlambat laju mereka dalam menempuh perjalanan akhirat. Oleh karenanya, kita akan menyaksikan hal-hal aneh dalam keseharian mereka yang menggambarkan secara jelas bahwa mereka mengemban amanah pemerintahan bukan untuk berfoya-foya.
Contohnya kisah berikut: Pada kesempatan lainnya, Umar mengumpulkan penduduk kota Hims di suatu tempat guna mendengar secara langsung kesaksian mereka tentang kinerja para staf pemerintahan disana. Umar melontarkan pertanyaan kepada mereka, "wahai penduduk Hims, bagaimana pendapat kalian mengenai kinerja gubernur kalian?"
Mereka menjawab, "wahai amirul mukminin, ada empat hal yang kami keluhkan tentang kinerja gubernur kami. Adapun yang pertama, setiap harinya, dia baru keluar dari rumahnya untuk melayani kami dikala matahari sudah tinggi"
"benar-benar keterlaluan",kata Umar menanggapi keluhan mereka. Keluhan pertama ini membuat tekanan darah Umar meningkat, pertanda rasa marah dan kecewa mulai menghampiri dirinya.
"lalu apa lagi?",tanyanya.
"yang kedua,
apabila malam tiba, dia tidak mau melayani siapapun", jawab mereka."ini
juga sudah kelewatan", tanggapnya. Keluhan kedua ini membuatnya semakin kecewa.
"lalu apa
lagi?",tanyanya lebih lanjut.
"yang ketiga,
dalam satu bulan, ada satu hari dimana dia tidak melayani kami sama
sekali",jawab mereka.
"ini sudah
melampaui batas wajar", kata Umar yang makin bertambah kecewa.
?lalu apa lagi?? tanyanya kembali. ?yang keempat, dia sering sekali mendadak pingsan tak sadarkan diri? , jawab mereka.
?lalu apa lagi?? tanyanya kembali. ?yang keempat, dia sering sekali mendadak pingsan tak sadarkan diri? , jawab mereka.
Keempat keluhan ini
benar-benar mengganggu perasaan Umar. Pasalnya, Sa'id bin 'Amir adalah salah
satu sahabat Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasalam- yang terpercaya. Umar
sangat mengetahui reputasinya selama ini. Rasanya tidak mungkin dia berbuat
demikian kecuali ada alasan kuat yang mendorongnya. Akhirnya, dia memanggil
Sa'id bin 'Amir sang gubernur guna dimintai keterangan mengenai keluhan-keluhan
penduduk Hims atas kinerjanya selama ini.
Tidak tanggung-tanggung, dia memanggilnya dan mengadilinya langsung dihadapan penduduk kota.
Tidak tanggung-tanggung, dia memanggilnya dan mengadilinya langsung dihadapan penduduk kota.
Sebelum memulai sesi pengadilan, Umar sempat melantunkan doa,"Ya Allah, Janganlah kau jadikan penilaianku selama ini terhadap dirinyameleset".
Walaupun kritikan-kritikan pedas yang tidak menyenangkan hati tadi datang bagaikan hujan anak panah, namun di sudut hatinya Umar masih menyimpan prasangka baik terhadap Sa'id. Tidak mungkin penilainnya terhadap sahabat yang satu ini meleset. Pasti ada alasan kuat yang membuatnya bertingkah demikian.
"rakyat Hims sekalian? coba sebutkan keluhan-keluahan kalian tadi", kata Umar memulai persidangan.
"dia baru
keluar dari rumahnya untuk melayani kami dikala matahari sudah tinggi",
jawab mereka.
"Sa'id, apa
pembelaanmu?",tanyanya. "wahai amirul mukminin, Demi Allah,
sebenarnya aku benci mengatakan hal ini, namun apa daya, aku akan mengatakannya
demi membela diri" jawab Sa'id. "Aku tidak memiliki pembantu di
rumah. Setiap pagi aku membuat sendiri adonan roti untuk keluargaku, kemudian
aku juga yang memanggangnya hingga matang. Setelah semuanya selesai, aku lantas
berwudhu kemudian keluar melayani mereka",lanjutnya.
Mendengar jawaban Sa'id tersebut hati Umar mulai terobati. Ternyata benar, penilaiannya selama ini tidak meleset, dia berbuat demikian bukan karena dorongan rasa malas dan ingin bersantai-santai. Kejujuranlah yang mendorongnya. Karena sifat jujur dan amanahnya itulah dia tidak berani mengambil uang rakyat sepeser pun untuk kepentingan pribadi. Oleh sebab itulah dia tetap hidup miskin dan tidak memiliki pembantu. Kalau saja dia tidak jujur dan amanah, tentu sekarang dia sudah hidup nyaman dikelilingi para pelayan.
"lantas apa lagi?",Tanya Umar kepada rakyat Hims.
"apabila malam
tiba dia tidak mau melayani siapapun" jawab mereka.
"apa
pembelaanmu, Sa'id?"
"lagi-lagi aku
benci untuk menjawabnya, tapi apa boleh buat, aku terpaksa akan menjawabnya
demi membela diri", Jawab Sa'id. "aku telah mengorbankan waktu
siangku demi melayani mereka, jadi sudah sewajarnya bila waktu malamku aku
khususkan untuk bermunajat kepada Allah ta'ala".
Untuk kedua kalinya,
jawaban Sa'id bagaikan semilir angin yang mengusir hawa panas dari hati Umar.
Memang beginilah seharusnya perilaku orang-orang solih alumni madrasah
Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasalam-. Mereka tidak memandang urusan dunia
yang membuat mereka super sibuk sebagai uzur untuk melalaikan hak-hak Allah
ta'ala.
Kesemrawutan problem
sehari-hari, gejolak hidup yang tak lekas pergi, hiruk pikuk alam fana ini,
serta beribu urusan yang lalu lalang di kepala mereka, semua itu akan mereda
begitu malam tiba, berganti dengan nuansa khusyu' berbalut alunan senandung al-
qur'an. Rintihan lirih ketika bermunajat, isak tangis karena takut akhirat,
berpadu dengan tasbih dan istighfar hingga penghujung malam, itu semua menjadi
melodi tak terpisahkan dari kehidupan malam mereka. Andaisaja kita bisa
menyaksikan langsung rupa mereka di pagi hari, niscaya kita akan melihat
wajah-wajah berhiaskan garis-garis hitam membujur dari mata hingga pipi. Itulah
bekas banjir air mata, saking banyaknya mereka menangis hingga aliran air mata
meninggalkan bekas seperti parit di wajah.
"apalagi?",Tanya Umar melanjutkan sidang.
"dalam satu
bulan, ada satu hari dimana dia tidak melayani kami sama sekali", jawab
mereka.
"apa
pembelaanmu, Sa'id?"
"wahai amirul
mukminin, aku tidak memiliki pelayan yang mencucikan pakaianku, dan juga aku
tidak memiliki pakaian lain selain yang menempel di badanku ini. Oleh
karenanya, aku mencuci pakaianku ini satu kali dalam sebulan. Pada hari itu aku
mencucinya, kemudian aku menungguinya hingga mengering pada sore hari",
jawab Sa'id.
"apalagi?",
lanjut Umar kepada penduduk Hims.
"dia sering
sekali mendadak pingsan tak sadarkan diri", jawab mereka.
"apa
tanggapanmu, Sa'id?"
"wahai amirul
mukminin, aku telah menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Khubaib
Al-anshory menemui ajalnya", jawab Sa"id.
"Ketika itu aku
masih dalam keadaan musyrik. Aku menyaksikan orang-orang kafir Quraisy
mencincang tubuhnya hidup-hidup seraya berkata, "wahai Khubaib! Apa kau
rela andaisaja Muhammad menggantikan posisimu sekarang ini?". Khubaib
menjawab, "demi Allah, jangankan posisiku sekarang, sedikit pun aku tak
rela Muhammad tertusuk duri sementara aku duduk di rumah bersama anak dan
istriku". Setiap kali aku mengingat peristiwa itu, aku selalu dirundung
penyesalan. Menyesal karena aku tidak menolongnya. Menyesal karena aku ketika
itu bukan termasuk golongan orang beriman. Aku khawatir, jangan-jangan Allah
ta'ala tidak akan mengampuni dosaku itu. Itulah yang membuat sering pingsan".
Mendengar
jawaban-jawaban Sa'id diatas, hati Umar berbunga-bunga. "segala puji bagi
Allah yang tidak menjadikan penilaianku terhadap dirinya meleset", kalimat
itulah itulah yang spontan terlontar dari lisannya. Betapa bahagia dia,
ternyata tudingan-tudingan penduduk Hims tehadap orang kepercayaannya ini hanya
salah paham belaka.
Seusai sidang, Umar
memerintahkan salah seorang pegawainya mengirimkan sekantung uang sejumlah
seribu dinar ke rumah Sa'id seraya berpesan, "wahai Sa'id, gunakanlah uang
ini untuk membantu keperluan hidupmu".
Sesampai di rumah,
istri Sa'id berkata,"Alhamdulillah, akhirnya kita bisa membeli budak
pelayan, sehingga engkau tidak perlu lagi kerepotan".
"Wahai istriku,
aku punya usul lain", tanggap Sa'id.
"Kita
investasikan uang ini di tangan orang-orang. Lalu, jika suatu saat nanti kita
dalam kondisi terdesak membutuhkan uang, baru kita ambil laba dari investasi
ini. Bagaimana menurutmu?",usulnya.
"wah, setuju
sekali", jawab sang istri spontan.
Istrinya tidak
menyadari maksud Sa'id yang sebenarnya. Gambaran yang ada di benaknya, Sa'id
akan menanamkan modal pada beberapa pedagang. Dengan begitu, seribu dinar tadi
akan berkembang dan semakin banyak, dan menjadi tabungan yang bisa diambil
sewaktu-waktu saat kebutuhan mendesak. Padahal maksud Sa'id yang sesungguhnya,
dia ingin menyedekahkan seribu dinar itu kepada fakir miskin. Yang nantinya
pada hari kiamat, dimana manusia dalam kondisi sangat terdesak membutuhkan amal
soleh, sedekah seribu dinar tadi akan sangat menolong mereka.
Tanpa pikir panjang,
Sa'id langsung keluar dan memanggil salah seorang kepercayaanya. Lalu, seribu
dinar tadi dibagi-bagi dalam beberapa kantung kecil.
"kantung yang ini, tolong berikan kepada janda-janda miskin di kabilah fulan, yang ini, berikan kepada fakir miskin di kabilah fulan, yang ini, berikan kepada keluarga fulan yang sedang terkena musibah", perintah Sa'id. Begitulah seterusnya, hingga yang tersisa tinggal beberapa keping uang dinar.
Lantas ia pulang dan memberikan sisa uang tadi kepada istrinya."gunakan sisa uang ini untuk memenuhi kebutuhan kita", katanya.
"Lho, kau kemanakan uang uang seribu dinar tadi?", tanya sang istri keheranan.
"kita akan mengambil uang itu suatu saat nanti, di saat kita dalam keadaan sangat terdesak", jawabnya sambil berlalu menuju tempat kerjanya.
Semoga rahmat Allah ta'ala selalu tercurah kepada pemimpin-pemimpin semacam ini.
[Disarikan dari buku: Shifatus Shofwah, karya Imam Ibnul Jauzi –rohimahullahu- halaman 254-247]
No comments:
Post a Comment